Efek Jangka Panjang Intimidasi Saudara Kandung
A
A
A
INTIMIDASI atau bullying yang dilakukan saudara kandung ternyata membawa dampak negatif. Korban akan mengalami rasa ketakutan dan kekhawatiran berlebihan saat memasuki usia dewasa.
Perkelahian anak-anak di taman bermain mungkin dipandang sebagai hal yang wajar karena pada masa tersebut anak-anak belum bisa mengendalikan emosi mereka. Hal ini juga biasa terjadi terhadap kakak-adik kandung yang tinggal dalam satu rumah. Kebanyakan orang tua akan berpikir seiring berjalannya waktu, anak-anak mereka akan belajar untuk saling menyayangi dengan sendirinya.
Namun, penelitian terbaru justru mengatakan sebaliknya. Seperti dilansir Health Day , kekerasan yang paling berbahaya dan memberikan dampak jangka panjang justru adalah kekerasan atau bullying yang dilakukan orang terdekat. Saudara kandung yang gemar mengolok-olok atau menyakiti secara fisik ternyata dapat menyakiti kakak atau adik mereka. Anak yang mendapat segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh saudara kandungnya memiliki risiko depresi dua kali lipat pada usia 18 tahun dibanding mereka yang tidak sama sekali.
Dampak jangka panjang yang akan diterimanya adalah adanya rasa ketakutan dan kekhawatiran berlebihan saat mulai memasuki usia dewasa. Meskipun penelitian tersebut hanya menemukan hubungan antara keduanya dan tidak membuktikan faktor-faktor tersebut berpengaruh secara langsung terhadap kekerasan yang dilakukan saudara kandungnya sendiri, Lucy Bowes, seorang peneliti postdoctoral di University of Oxford yakin dengan adanya perhatian khusus untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam keluarga, baik itu fisik maupun verbal yang dilakukan saudara kandungnya sendiri akan meningkatkan kesehatan mental secara signifikan dan jangka panjang.
Tindakan kekerasan, intimidasi, atau bullying sendiri telah mendapat perhatian luar biasa di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, penelitian yang membahas kekerasan yang dilakukan oleh saudara kandung sendiri masih jarang ditemui. Penelitian yang dilakukan Bowes bersama rekan-rekannya ini telah menguji hasil temuan sekitar 2.000 orang di Amerika Serikat yang telah disurvei menggunakan kuesioner pada 2004/2005 yang berusia rata-rata 12 tahun.
Kemudian, mereka akan menerima pertanyaan melalui survei kembali pada usia 18 tahun. Bowes mendefinisikan kekerasan atau intimidasi sebagai tindakan, seperti memberi panggilan buruk yang mengolokolok serta tindakan fisik kekerasan, seperti memukul atau menendang. Anak-anak yang mengalami paling intimidasi kebanyakan akan melaporkannya pada usia 18 tahun.
Rancangan penelitian ini tidak menentukan angka yang tepat terkait risiko berlebihan bahwa anak-anak yang paling sering “diganggu” akan menghadapi depresi, takut, cemas, atau melukai diri mereka sendiri. “Namun, lebih dari 10% dari sampel melaporkan bahwa mereka beberapa kali dalam seminggu mengalami intimidasi. Dan, dalam kelompok ini, ada risiko yang signifikan terkait gangguan kesehatan psikis mereka,” kata Bowes.
Penelitian ini tidak membandingkan efek kekerasan yang dilakukan saudara kandung dan orang lain, tetapi menunjukkan bahwa hanya ada sedikit peluang bagi korban untuk lepas dari kekerasan ketika pelakunya adalah saudara kandungnya sendiri. Bowes mengatakan, ini belum jelas apakah sebenarnya masalah ini akan menyebabkan masalah mental di kemudian hari atau jika sesuatu yang lain, seperti menjadi sensitif lebih dan lemah atau berkontribusi menjadi pelaku kekerasan selanjutnya dan mengalami masalah mental.
Penelitian ini juga tidak melihat apakah salah satu korban juga sekaligus pelaku dan apakah faktor tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental mereka di kemudian hari. Rachel Annunziato, asisten profesor psikologi klinis di Fordham University di New York City, yang mengkaji temuan penelitian ini menyarankan orang tua untuk mengawasi persaingan antara saudara kandung di dalam keluarga.
“Karena itu, penting untuk mengawasi seberapa sering terjadi perkelahian terjadi dan bagaimana menyikapinya,” katanya. “Kita harus merangkul anak-anak tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai keluarga,” ujarnya.
Larissa huda
Perkelahian anak-anak di taman bermain mungkin dipandang sebagai hal yang wajar karena pada masa tersebut anak-anak belum bisa mengendalikan emosi mereka. Hal ini juga biasa terjadi terhadap kakak-adik kandung yang tinggal dalam satu rumah. Kebanyakan orang tua akan berpikir seiring berjalannya waktu, anak-anak mereka akan belajar untuk saling menyayangi dengan sendirinya.
Namun, penelitian terbaru justru mengatakan sebaliknya. Seperti dilansir Health Day , kekerasan yang paling berbahaya dan memberikan dampak jangka panjang justru adalah kekerasan atau bullying yang dilakukan orang terdekat. Saudara kandung yang gemar mengolok-olok atau menyakiti secara fisik ternyata dapat menyakiti kakak atau adik mereka. Anak yang mendapat segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh saudara kandungnya memiliki risiko depresi dua kali lipat pada usia 18 tahun dibanding mereka yang tidak sama sekali.
Dampak jangka panjang yang akan diterimanya adalah adanya rasa ketakutan dan kekhawatiran berlebihan saat mulai memasuki usia dewasa. Meskipun penelitian tersebut hanya menemukan hubungan antara keduanya dan tidak membuktikan faktor-faktor tersebut berpengaruh secara langsung terhadap kekerasan yang dilakukan saudara kandungnya sendiri, Lucy Bowes, seorang peneliti postdoctoral di University of Oxford yakin dengan adanya perhatian khusus untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam keluarga, baik itu fisik maupun verbal yang dilakukan saudara kandungnya sendiri akan meningkatkan kesehatan mental secara signifikan dan jangka panjang.
Tindakan kekerasan, intimidasi, atau bullying sendiri telah mendapat perhatian luar biasa di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, penelitian yang membahas kekerasan yang dilakukan oleh saudara kandung sendiri masih jarang ditemui. Penelitian yang dilakukan Bowes bersama rekan-rekannya ini telah menguji hasil temuan sekitar 2.000 orang di Amerika Serikat yang telah disurvei menggunakan kuesioner pada 2004/2005 yang berusia rata-rata 12 tahun.
Kemudian, mereka akan menerima pertanyaan melalui survei kembali pada usia 18 tahun. Bowes mendefinisikan kekerasan atau intimidasi sebagai tindakan, seperti memberi panggilan buruk yang mengolokolok serta tindakan fisik kekerasan, seperti memukul atau menendang. Anak-anak yang mengalami paling intimidasi kebanyakan akan melaporkannya pada usia 18 tahun.
Rancangan penelitian ini tidak menentukan angka yang tepat terkait risiko berlebihan bahwa anak-anak yang paling sering “diganggu” akan menghadapi depresi, takut, cemas, atau melukai diri mereka sendiri. “Namun, lebih dari 10% dari sampel melaporkan bahwa mereka beberapa kali dalam seminggu mengalami intimidasi. Dan, dalam kelompok ini, ada risiko yang signifikan terkait gangguan kesehatan psikis mereka,” kata Bowes.
Penelitian ini tidak membandingkan efek kekerasan yang dilakukan saudara kandung dan orang lain, tetapi menunjukkan bahwa hanya ada sedikit peluang bagi korban untuk lepas dari kekerasan ketika pelakunya adalah saudara kandungnya sendiri. Bowes mengatakan, ini belum jelas apakah sebenarnya masalah ini akan menyebabkan masalah mental di kemudian hari atau jika sesuatu yang lain, seperti menjadi sensitif lebih dan lemah atau berkontribusi menjadi pelaku kekerasan selanjutnya dan mengalami masalah mental.
Penelitian ini juga tidak melihat apakah salah satu korban juga sekaligus pelaku dan apakah faktor tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental mereka di kemudian hari. Rachel Annunziato, asisten profesor psikologi klinis di Fordham University di New York City, yang mengkaji temuan penelitian ini menyarankan orang tua untuk mengawasi persaingan antara saudara kandung di dalam keluarga.
“Karena itu, penting untuk mengawasi seberapa sering terjadi perkelahian terjadi dan bagaimana menyikapinya,” katanya. “Kita harus merangkul anak-anak tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai keluarga,” ujarnya.
Larissa huda
(ars)